Pada tanggal 26 Juli 2024 lalu, Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2024 terkait Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan, yang menuai cukup banyak kontroversi di masyarakat terutama terkait salah satu pasalnya tentang Kesehatan Reproduksi. Salah satu pasal yang mendapat banyak pro dan kontra di masyarakat adalah Pasal 102, yang memuat penghapusan praktik sunat perempuan. Mari kita bahas lebih dalam tentang salah satu praktik tradisional membahayakan yang masih berlangsung di Indonesia saat ini.
Sunat perempuan mengacu pada pada praktik tradisional yang biasanya berakar dari kepercayaan tertentu. Praktik ini telah dipertahankan oleh norma budaya atau religius di beberapa komunitas. Sunat perempuan dapat mencakup berbagai jenis prosedur yang berbeda, dan dapat meliputi perlukaan pada genitalia perempuan, maupun sekedar bentuk simbolis seperti pengusapan ataupun pembersihan dengan alat tertentu. Secara internasional, WHO menyebut sunat perempuan sebagai Female Genital Mutilation or Cutting (FGM/C) atau Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), yaitu praktik berbahaya yang melibatkan pemotongan sebagian atau seluruh alat kelamin luar perempuan yang dilakukan tanpa alasan medis. Praktik ini berbeda dari sunat laki-laki yang memiliki justifikasi medis. Sunat perempuan atau P2GP tidak memberikan manfaat kesehatan dan justru dapat membahayakan kesehatan fisik dan mental perempuan yang mengalaminya.
Secara global, P2GP diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia. World Health Organization (WHO) menegaskan bahwa P2GP tidak memiliki manfaat kesehatan dan dapat menimbulkan komplikasi serius seperti infeksi, nyeri kronis, dan masalah saat persalinan.
Sunat perempuan masih memengaruhi lebih dari 230 juta anak perempuan dan wanita di 30 negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Praktik ini umumnya dilakukan pada anak perempuan mulai dari bayi hingga usia 15 tahun. Alasan di balik sunat perempuan bervariasi di setiap budaya tetapi sering kali berakar pada norma-norma gender dan faktor-faktor sosial yang saling terkait. Alasan umum yang sering digunakan untuk membenarkan praktik ini termasuk menjaga “kesucian”, memastikan dapat dinikahi, keyakinan agama, dan alasan kebersihan. Praktik ini bertujuan untuk membentuk tubuh perempuan agar sesuai dengan standar budaya tertentu, seperti tubuh ‘murni’ di Indonesia, tubuh ‘jinak’ di Ethiopia, dan tubuh ‘dewasa’ di Kenya.
Di Indonesia, sunat perempuan tetap menjadi praktik yang kontroversial dan kasusnya masih cukup tinggi. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021, sebanyak 21,6% perempuan berusia 19-45 tahun masih mengalami praktik ini, sementara 33,1% perempuan terlibat dalam praktik tersebut secara simbolis. Beberapa orang menganggapnya sebagai kewajiban agama Islam atau tradisi budaya, sementara para cendekiawan kontemporer menentang praktik ini dengan alasan lemahnya dukungan dari sudut pandang agama dan potensi risiko kesehatan. Praktik ini bervariasi antar daerah, dengan orang Jawa menganggapnya sebagai ritus pubertas simbolis, sedangkan di Madura praktik ini dilakukan dengan prosedur yang lebih berbahaya. Di Sumbawa, P2GP didasarkan pada keyakinan budaya dan agama daripada kesetaraan gender. Di Banten, praktik ini dipandang sebagai kewajiban agama dan ritual penyucian, meskipun terdapat potensi risiko terhadap kesehatan reproduksi dan seksual perempuan. Secara keseluruhan, P2GP di Indonesia mencerminkan konstruksi sosial yang kompleks tentang seksualitas dan gender, dengan perdebatan yang sedang berlangsung mengenai implikasi agama, budaya, dan kesehatan.
Sunat perempuan dan laki-laki memiliki fungsi yang berbeda. Sunat pria bertujuan untuk menghilangkan preputium atau kulit yang menutupi glans penis. Kulit ini bisa menghambat saluran berkemih sehingga dengan memotong kulit tersebut bisa mengurangi risiko infeksi saluran kemih. Sementara anatomi perempuan memiliki saluran kemih yang tidak tertutupi oleh preputium. Ini artinya secara medis sunat perempuan tidak diperlukan, bahkan bisa menyebabkan komplikasi dan dampak pada psikologis. Berbeda dengan sunat laki laki yang menggunakan obat bius, sunat perempuan biasanya tidak menggunakan obat tersebut sehingga menyebabkan nyeri yang hebat. Selain itu pada organ genitalia eksterna perempuan terdapat persyarafan dan pembuluh darah yang banyak sehingga tindakan P2GP ini bisa menimbulkan perdarahan. Apabila perlukaan ini tidak dirawat dengan baik bisa menimbulkan infeksi dan pembengkakan. Dalam jangka panjang P2GP menyebabkan penurunan respon serta kepuasan seksual. Adanya jaringan parut pada vulva juga menyebabkan nyeri saat berhubungan seksual. Pengalaman P2GP ini juga memberikan dampak traumatis hingga menimbulkan masalah jiwa.
Dalam upaya mengurangi kejadian P2GP, sejak tahun 2016 KemenPPPA bekerjasama dengan UNFPA dalam hal advokasi dan sosialisasi penghapusan P2GP. Hal ini didukung dengan disusunnya roadmap dan rencana aksi 2030 mengenai penurunan dan penghapusan praktek P2GP di Indonesia. KemenPPPA dan UNFPA setuju bahwa pencegahan P2GP harus dilakukan secara terintegrasi; yaitu dengan melibatkan kementerian dan lembaga negara. Pencegahan ini merencanakan terlaksananya 5 hal sebelum tahun 2029, salah satunya adalah pemerataan pendidikan lanjutan non formal mengenai P2GP ke 34 provinsi dan keluarnya dukungan sikap dari tokoh masyarakat, agama, dan adat mengenai P2GP.
Sebagai usaha mengupayakan praktik pengadaan kesehatan reproduksi yang aman, termasuk mencegah dan melindungi organ dan fungsi reproduksi dari gangguan atau kecacatan, maka Pemerintah mengatur penghapusan praktik sunat perempuan pada Pasal 102 di dalam PP No. 28 Tahun 2024. Pengesahan undang-undang ini merupakan langkah konkrit dan komitmen tertulis Pemerintah Indonesia untuk menghapus sebuah praktik yang telah berada di Indonesia selama beratus tahun dan telah berlindung jauh di bawah perisai ‘ajaran agama’ dan ‘warisan budaya’.
Meskipun begitu, peraturan ini masih menuai berbagai tanggapan positif dan negatif dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, legislator, aktivis perempuan dan anak, dan masih banyak pihak lainnya. Beberapa pihak yang mendukung adanya kebijakan ini menuntut adanya sanksi tegas terhadap pelaku P2GP yang terdiri atas orang tua korban, dan tenaga kesehatan yang masih melakukan praktik P2GP seperti dokter dan bidan. Selain itu, beberapa pihak juga mendorong pelaksanaan kebijakan ini perlu melibatkan sektor lainnya yang dapat menjangkau sampai ke komunitas/masyarakat, di lingkungan di mana praktik P2GP masih banyak dilakukan. Penjangkau disini berperan sebagai edukator yang dapat mengedukasi masyarakat tentang bahaya dari praktik P2GP, dan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, maupun pemuka agama di komunitas yang memiliki shared values dan kredibilitas tinggi di komunitas sasarannya.
Peran pemuda dan calon tenaga kesehatan sangatlah penting dalam mengupayakan penghapusan praktik P2GP. Sebagai pemuda, kita memiliki suara untuk mengadvokasikan isu ini kepada pemangku kebijakan terkait, apabila kita menemukan pelaku maupun korban P2GP di sekitar kita. Selain itu, pemuda yang erat dengan kepemilikan sosial media juga dapat menggunakan wadah tersebut untuk menyuarakan isu P2GP sebagai isu nyata yang masih terjadi di Indonesia, dan meningkatkan kesadaran orang-orang terdekat kita akan dampak dari P2GP. Sebagai tenaga kesehatan di masa depan, kita dapat membekali diri kita sendiri dengan pengetahuan akan anatomi dan fisiologi dari sistem reproduksi perempuan, sehingga kita bisa membedakan ketimpangan manfaat pada sunat laki-laki dan perempuan. Sebagai calon tenaga kesehatan, kita juga dapat mengasah pengetahuan terkait gender, bentuk-bentuk kekerasan terhadap jenis kelamin yang dapat bermanifestasi menjadi banyak hal, salah satunya adalah sunat perempuan. Kita juga bisa memperkaya diri dengan pengetahuan akan paradigma sosial, ajaran agama, dan budaya yang dapat berbuah menjadi praktik kesehatan yang membahayakan.
Mari ambil peran yang lebih besar dalam menghapus praktik sunat perempuan dengan mengedukasi diri dan menggunakan suara kita, untuk Indonesia yang lebih aman dan setara.
Penulis:
Referensi:
STANDING COMMITTEE ON SEXUAL & REPRODUCTIVE HEALTH AND RIGHTS INCLUDING HIV & AIDS
CENTER FOR INDONESIAN MEDICAL STUDENTS’ ACTIVITIES