Pada tanggal 26 Juli 2024, pemerintah telah menetapkan PP Nomor 28 Tahun 2024 sebagai aturan pelaksanaan untuk Undang-Undang No 27 Tahun 2023 tentang kesehatan1. Salah satu tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk memperkuat layanan promotif dan preventif di bidang kesehatan. Layanan ini mencakup kesehatan reproduksi bagi remaja, sebagaimana diatur dalam Pasal 96–130. Pemerintah akan mendorong penyebaran komunikasi, informasi, dan edukasi, serta menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi. Program ini meliputi edukasi tentang sistem, fungsi, dan proses reproduksi, cara menjaga kesehatan reproduksi, risiko perilaku seksual, dampaknya, serta keluarga berencana dan kemampuan melindungi diri serta menolak hubungan seksual yang tidak diinginkan. Namun, Pasal 103 Ayat (4) menimbulkan perdebatan dan kontroversi karena peraturan baru tersebut akan menyediakan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan reproduksi.
Bunyi PP Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 103 Ayat (4):
“Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi.”
Banyak pihak yang khawatir terkait dengan pelaksanaan aturan ini. Masyarakat khawatir bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja akan menjadi pintu masuk untuk premarital seks atau hubungan seksual di luar pernikahan di kalangan remaja. Selain itu, kontroversi muncul karena terdapat pendapat bahwa penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja dapat melanggar nilai moral dan etika, serta berpotensi mendorong perilaku seksual bebas. Semenjak mencuatnya permasalahan ini, banyak pendapat yang mulai bertebaran di media terkait dengan keputusan ini. Dengan beberapa pihak mengharapkan bahwa pembuatan regulasi ini bisa lebih melibatkan pertimbangan dari berbagai pihak pemangku kebijakan.
Menanggapi kontroversi ini, Juru Bicara Kemenkes, Syahril, memberikan keterangan resmi yang menjelaskan bahwa penyediaan alat kontrasepsi tidak diberikan untuk seluruh remaja, melainkan hanya untuk remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan karena calon ibu belum siap secara kesehatan dan ekonomi. Di sisi lain, pernyataan ini menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk mendukung pernikahan anak. Pernikahan anak sendiri memiliki banyak dampak negatif, termasuk penghentian pendidikan, meningkatnya risiko kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, hingga perceraian yang disebabkan kurang matangnya psikologis anak, serta masalah kesehatan serius bagi ibu dan bayi.
Menurut WHO, pernikahan anak adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan di bawah usia 19 tahun. Usia 19 tahun dinilai telah mencapai kematangan jiwa raganya untuk melakukan pernikahan yang baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang sehat. Meskipun Indonesia telah menetapkan batas minimal usia pernikahan pada 19 tahun melalui UU Nomor 16 Tahun 2019, pernikahan anak masih banyak terjadi. Indonesia berada pada urutan ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN untuk jumlah pernikahan anak terbanyak, menurut data UNICEF. Penyebab pernikahan anak meliputi tingkat pendidikan yang rendah, pergaulan bebas, tradisi dan budaya, serta faktor ekonomi. Di wilayah pedesaan, khususnya daerah yang masih mempertahankan tradisi yang mendukung pernikahan anak, prevalensi pernikahan anak lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perkotaan.
Pernikahan anak juga berdampak signifikan pada kesehatan. Tubuh anak-anak dinilai belum siap untuk mengandung dan melahirkan, sehingga meningkatkan risiko anemia, keguguran, kelahiran prematur, bayi dengan berat lahir rendah, serta komplikasi lainnya. Data menunjukkan bahwa kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan di bawah usia 20 tahun lebih tinggi 2-5 kali dibandingkan dengan wanita yang melahirkan di usia 20-29 tahun.
Kontrasepsi memiliki banyak peran sebagai alat pencegahan permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja, yang aktif secara seksual, yang baru memilih untuk ingin aktif, maupun yang non-aktif. Peran penting kontrasepesi salah satunya adalah untuk mencegah kehamilan remaja, yang berpotensi menurunkan angka kematian ibu dan anak. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan dispensasi pernikahan anak, dengan sebagian besar kasus disebabkan oleh kehamilan di luar nikah. Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja sering kali menimbulkan dampak sosial, seperti pengucilan, ketidaksiapan ekonomi, stres, depresi, dan bahkan keputusan untuk melakukan aborsi. Selain mencegah kehamilan, kontrasepsi juga melindungi remaja dari penyakit menular seksual (PMS).
Bagi remaja perempuan yang memilih untuk aktif secara seksual, melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kontrasepsi juga dapat meningkatkan risiko terkena kanker serviks sebanyak 8,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang menikah di usia yang lebih matang. Hal ini terjadi karena pada usia ≤ 20 tahun, sel-sel mukosa di serviks belum matang, sehingga belum siap untuk dapat rangsangan dari luar, termasuk zat-zat kimia yang dibawa oleh sperma. Ketika hubungan seksual dilakukan pada usia ini, sel-sel mukosa lebih rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi HPV yang menjadi penyebab utama kanker serviks.
Meskipun sudah terbukti manfaatnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang konservatif yang menolak akses terhadap kontrasepsi pada remaja. Masih terdapat tanggapan bahwa akses tersebut dapat mendorong perilaku seks bebas. Namun, penelitian menunjukkan bahwa akses terhadap informasi tentang kontrasepsi dan pendidikan seks justru dapat membuat remaja lebih sadar akan risiko dan konsekuensi dari hubungan seksual. Remaja yang mendapatkan pendidikan seks dan informasi kontrasepsi cenderung membuat keputusan yang lebih bijak terkait dengan kontrasepsi, penyakit menular seksual, dan hubungan seksual yang aman di usia yang lebih matang.
Maka dari itu, penting untuk menggabungkan pemberian akses terhadap kontrasepsi dengan pendidikan seks yang mendalam dan menyeluruh sehingga remaja dapat memahami sepenuhnya risiko, dampak, dan tanggung jawab yang menyertai kesehatan reproduksi. Selain itu, diperlukan juga penanaman nilai-nilai moral serta pemahaman tentang dampak emosional dan sosial dari perilaku seksual. Dengan pendekatan yang benar, kontrasepsi dapat menjadi cara yang efektif untuk menangani masalah kesehatan seksual di kalangan remaja, sekaligus menghormati nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat.
Akan tetapi, terlepas dari manfaat penyediaan kontrasepsi untuk usia sekolah dan remaja, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan berbagai masukan dari masyarakat, tenaga kesehatan, dan para ahli di bidang kesehatan. Pemerintah perlu untuk memperjelas poin-poin yang tercantum sebagai berikut:
Apabila pasal-pasal yang masih menjadi perdebatan dapat diperjelas, kami berharap peraturan ini dapat lebih diterima oleh semua pihak. Dan, kami berharap dengan perbaikan kebijakan ini, program pendidikan kesehatan reproduksi dapat terlaksana secara lebih menyeluruh, terpantau, dan terkoordinasi untuk anak-anak dan remaja, agar setiap upaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi dapat tercapai dengan optimal.
Referensi:
STANDING COMMITTEE ON SEXUAL & REPRODUCTIVE HEALTH AND RIGHTS INCLUDING HIV & AIDS
CENTER FOR INDONESIAN MEDICAL STUDENTS’ ACTIVITIES