
Belakangan ini, dunia kesehatan tengah diguncang oleh pemberitaan mengenai tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum tenaga medis. Profesi dokter tidak semata-mata berfokus kemampuan klinis, melainkan juga menuntut komitmen terhadap kepercayaan, penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan, serta integritas dalam menjalankan etika profesi. Satu tindakan tak bermoral dari seorang “oknum” berpotensi memperlebar jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap dokter, sebuah relasi yang seharusnya didasari oleh rasa aman dan kepercayaan.
Ironisnya, peristiwa ini terjadi di tempat yang seharusnya menjadi simbol keamanan dan kepercayaan yaitu rumah sakit. Seorang tenaga medis yang seharusnya melindungi justru memanfaatkan posisinya untuk melukai. Kasus ini bukan hanya sekadar kejahatan kriminal, tetapi juga mencerminkan pelanggaran serius terhadap etika profesi kedokteran dan hak asasi pasien.
RELASI KUASA DALAM PRAKTIK MEDIS
Kekerasan seksual umumnya terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa yang mendasari. Relasi kuasa dalam kekerasan seksual merupakan unsur yang dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban. Dalam jendela hubungan dokter dan pasien, ketimpangan relasi kuasa merupakan bagian tak terhindarkan dalam praktik medis. Ketimpangan ini dapat menciptakan ruang bagi penyalahgunaan kuasa, termasuk dalam bentuk kekerasan seksual yang kerap sulit terdeteksi karena korban sering kali bungkam karena takut tidak dipercaya, merasa malu, atau terintimidasi oleh status pelaku. Ketika batas tubuh, privasi, dan otonomi pasien dilanggar atas nama tindakan medis, maka yang terjadi bukan sekadar malpraktik, melainkan kekerasan seksual berbasis relasi kuasa.
Dimensi Relasi Kuasa dalam Interaksi Dokter-Pasien
1. Hierarki Pengetahuan dan Posisi Sosial
Dokter diposisikan sebagai otoritas medis. Dengan segala titel akademik dan wibawa institusional yang melekat, dokter dipercaya untuk memberikan diagnosis dan terapi. Pasien, sebaliknya, berada dalam kondisi rentan dengan ketidakpastian, dan berketergantungan penuh pada informasi serta keputusan medis yang diberikan dokter. Dalam konteks ini juga terdapat jarak yang cukup lebar antara pengetahuan medis yang dimiliki dokter dan pemahaman awam. Contohnya, penggunaan istilah-istilah medis seperti “crossmatch” atau prosedur lainnya sering kali tidak dijelaskan secara utuh kepada pasien. Penyelubungan informasi melalui bahasa profesional dapat menciptakan situasi di mana pasien merasa tidak berdaya untuk bertanya atau meragukan. Ini memperkuat dimensi relasi kuasa berbasis hierarki pengetahuan.
2. Ketergantungan Emosional dan Psikologis
Pasien yang sedang dalam kondisi sakit, umumnya mengalami tekanan emosional dan psikologis Dalam keadaan seperti ini, pasien cenderung menaruh kepercayaan penuh kepada dokter, bahkan diluar ranah medis sekalipun.
3. Ruang Tertutup dan Minimnya Pengawasan
Interaksi dokter-pasien sering terjadi di ruang tertutup dengan akses terbatas. Situasi ini menciptakan ruang rawan bagi penyalahgunaan kuasa, termasuk dalam bentuk kekerasan seksual yang seringkali sulit dibuktikan karena minimnya saksi atau bukti langsung.
Realita Kekerasan Seksual di Lingkungan Medis
Sebuah studi di Amerika Serikat terhadap 101 kasus kekerasan seksual oleh tenaga medis mengungkapkan bahwa 100% pelaku adalah laki-laki, 92% berusia di atas 39 tahun, dan 70% tidak memiliki sertifikasi dewan spesialis. Mayoritas bekerja di praktik swasta dan melakukan pemeriksaan tanpa kehadiran pendamping. Bentuk kekerasan seksual yang dilaporkan meliputi:
- Sentuhan tidak pantas (33%)
- Sodomi (31%)
- Pemerkosaan (16%),
- Pelecehan anak (14%),
- Hubungan seksual “konsensual” dengan pasien (7%), yang tetap dianggap pelanggaran karena adanya relasi kuasa.
Mayoritas korban adalah perempuan dewasa, dengan sebagian kecil merupakan anak-anak dan pasien dengan kondisi rentan secara mental atau fisik.
BIOETIKA MEDIS DAN HAK PASIEN
Dalam dunia medis, pasien tidak hanya dipandang sebagai objek perawatan, melainkan sebagai individu yang memiliki hak penuh atas tubuh dan keputusannya sendiri, yang dikenal sebagai prinsip autonomi pasien. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap pasien memiliki hak untuk mengontrol keputusan atas tubuh dan pengobatannya. Tidak hanya itu, hak pasien juga mencakup rasa aman, privasi, serta perlakuan manusiawi dan bermartabat — sebuah hak yang harus dihormati tanpa syarat oleh siapapun yang mengenakan jas putih. Dalam dunia kedokteran, pasien adalah subjek yang memiliki hak atas tubuh dan keputusannya sendiri. Prinsip otonomi pasien menegaskan bahwa setiap individu berhak mengetahui, memahami, dan menyetujui segala bentuk tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tenaga kesehatan wajib:
- Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan medis secara transparan.
- Memberi ruang bagi pasien untuk bertanya atau menolak tindakan medis.
- Menyediakan opsi pendamping atau chaperone saat pemeriksaan fisik.
Hak pasien meliputi keamanan, privasi, serta perlakuan manusiawi dan bermartabat. Pelanggaran terhadap prinsip ini adalah pelanggaran terhadap etika kedokteran dan hak asasi manusia.
RED-FLAGS YANG PERLU DIKETAHUI DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Pasien dan keluarga perlu waspada terhadap perilaku mencurigakan seperti:
- Ketidakterbukaan dalam komunikasi medis.
- Reaksi defensif atau marah saat dipertanyakan.
- Penolakan terhadap second opinion.
- Perilaku merendahkan atau melecehkan.
- Pertanyaan atau komentar pribadi yang tidak relevan dengan perawatan.
DAMPAK BAGI KORBAN
Dampak kekerasan seksual tidak berhenti pada fisik, tetapi menoreh luka dalam pada kondisi psikologis dan sosial korban. Rasa trauma, ketidakpercayaan pada sistem kesehatan, serta beban stigma sosial sering kali menjadi beban jangka panjang bagi korban. Ketidakpercayaan yang terus berlanjut terhadap layanan kesehatan dapat menyebabkan penurunan kunjungan, baik dalam kondisi sakit maupun sehat. Hal ini pada akhirnya menghambat fungsi sistem kesehatan secara menyeluruh, termasuk upaya promotif, preventif, maupun kuratif.
APA YANG BISA KITA LAKUKAN UNTUK KORBAN
- Memberikan dukungan emosional: Percayai korban, dengarkan tanpa menghakimi, dan validasi pengalaman mereka
- Membantu korban dalam proses pelaporan, pengobatan, dan akses ke layanan psikologis dan bantuan hukum.
- Melindungi kerahasiaan dan kendali mereka atas cerita mereka sendiri. Jangan pernah memaksa korban untuk bercerita lebih dari yang mereka nyaman bagikan. Berikan ruang bagi mereka untuk menentukan bagaimana, kapan, dan kepada siapa mereka ingin menceritakan pengalaman mereka. Pada saat yang sama, bantu korban memahami pilihan yang tersedia, termasuk apakah mereka ingin melaporkan, mencari keadilan restoratif, atau sekadar fokus pada pemulihan pribadi.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa institusi kesehatan perlu memperketat pengawasan internal, memperkuat pelatihan etika profesi, dan menyediakan mekanisme pengaduan yang ramah korban. Tidak hanya itu, masyarakat juga perlu diberdayakan agar memahami hak-haknya sebagai pasien dan berani menyuarakan ketika hak tersebut dilanggar, agar tidak ada ruang lagi bagi penyalahgunaan kuasa di balik jas putih. Institusi medis berkewajiban untuk menciptakan ruang layanan yang adil, aman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi
Center for Indonesian Medical Students’ Activities (CIMSA) sebagai organisasi mahasiswa kedokteran di Indonesia menentang segala bentuk kekerasan seksual, termasuk di lingkungan profesi kesehatan. CIMSA mendukung segala upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seluruh pihak dengan menempatkan perlindungan, hak, dan martabat korban pada garda terdepan.
PANGGILAN UNTUK BERTINDAK
- Mahasiswa Kedokteran, untuk memperkuat literasi diri tentang kekerasan seksual, bioetika, dan penanganan korban kekerasan seksual, serta aktif dalam melakukan edukasi dan pencegahan.
- Tenaga kesehatan, untuk membangun cara pandang yang berpihak pada korban dan menjalankan praktik profesional berbasis etika dan empati.
- Kementerian Kesehatan RI, untuk memperkuat sistem pengawasan dalam sistem pelayanan kesehatan, dan menyusun panduan mengenai layanan panduan, penanganan, serta pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pelayanan kesehatan.
- Badan Penegak Hukum, untuk mengimplementasikan sanksi dan investigasi dalam UU TPKS secara menyeluruh dan menghadirkan keadilan serta pemulihan dan perlindungan komprehensif bagi korban.
- Organisasi Keprofesian, untuk mengadakan pelatihan bioetika secara berkala sebagai komitmen pencegahan kekerasan seksual oleh anggotanya.
- Konsil Kedokteran Indonesia, untuk mencabut dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan seksual, termasuk pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR).
- Masyarakat umum, untuk memperkaya diri dengan pengetahuan terkait hak dan otonomi tubuh sebagai pasien, serta menciptakan ruang aman bagi korban untuk bersuara tanpa takut akan stigma.
Referensi:
- DuBois JM, Walsh HA, Chibnall JT, Anderson EE, Eggers MR, Fowose M, et al. Sexual Violation of Patients by Physicians: A Mixed-Methods, Exploratory Analysis of 101 Cases. Sex Abuse [Internet]. 2019 Aug [cited 2025 Apr 18];31(5):503–23. Available from: https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1079063217712217
- AbuDagga A, Carome M, Wolfe SM. Time to End Physician Sexual Abuse of Patients: Calling the U.S. Medical Community to Action. J GEN INTERN MED [Internet]. 2019 Jul [cited 2025 Apr 18];34(7):1330–3. Available from: http://link.springer.com/10.1007/s11606-019-05014-6
- Grannell R. What to do if you think you have been subject to sexual misconduct by a doctor: a resource for patients and colleagues.
- Sexual Victimization of Patients by Physicians A Factsheet for Survivors & Advocates [Internet]. [cited 2025 Apr 18]. Available from: https://oaesv.org/wp-content/uploads/2021/04/oaesv-sa-of-patients-by-physicians.pdf
- Mulvihill N. Professional authority and sexual coercion: A paradigmatic case study of doctor abuse. Social Science & Medicine [Internet]. 2022 Jul [cited 2025 Apr18] ;305:115093. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0277953622003999
- McIntosh T, Walsh H, Parsons M, Solomon ED, Mozersky J, DuBois JM. Responding to Sexual Abuse in Health Care: Development of a Guide for Patients. J Patient Cent Res Rev. 2022;9(2):117–21.
- Cohen C, Kelian RL, Oliveira RA, Gobbetti GJ, Massad E. Sexual Harassment in the Physician-Patient Interaction: Analysis of Charges Against Doctors in the State of São Paulo. Clinics [Internet]. 2009 Nov [cited 2025 Apr 18];64(11):1075–83. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1807593222025236
Written by:
Thoriq Farizan Afif
RnDC SCORA CIMSA 2024–2025
Alexis Juliette
NORA CIMSA 2024–2025