Aborsi Aman, Hak Setiap Korban Kekerasan Seksual untuk Bangkit

Kekerasan seksual merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh tindakan seksual atau tindakan lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan paksaan tanpa persetujuan dari korban. Beberapa bentuk kekerasan seksual diantaranya pelecehan seksual, pemerkosaan, dll. Kekerasan seksual masih menjadi masalah yang sering ditemukan di Indonesia. Berdasarkan data yang di ambil dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) milik KemenPPA, sejak tanggal 1 Januari 2024 sampai hari ini (15 Agustus 2024) sudah tercatat sebanyak 7.208 kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia. Catatan tahunan Komnas Perempuan 2023 juga mencatat 143 kasus pemerkosaan yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan, dan Komnas Perempuan juga menemukan sebanyak 103 kasus pemerkosaan yang berakibat pada kehamilan sepanjang tahun 2018-2023.  

Kehamilan yang dialami korban kekerasan seksual mampu memperparah kondisi mental serta trauma psikologis akibat peristiwa pemerkosaan yang dialaminya. Penelitian menunjukkan bahwa banyak korban pelecehan seksual yang sedang hamil merasakan gejala depresi dan PTSD, berpikir untuk bunuh diri, serta masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, muntah, nyeri panggul, dan pendarahan. Hal ini tentunya berdampak sangat buruk bagi perkembangan janin di dalam tubuhnya.  Maka dari itu, kebanyakan korban perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya dan memutuskan untuk menghentikan kehamilannya.  

Praktik aborsi cukup umum dilakukan di Indonesia. Menurut Nurhafni (2022) Angka kejadian aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus. Angka tersebut menunjukkan tingginya praktik aborsi di Indonesia, akan tetapi 79% praktik aborsi dilakukan secara ilegal (unsafe abortion). WHO (2024) mendefinisikan safe abortion sebagai suatu intervensi kesehatan yang dilakukan sesuai dengan usia kehamilan dan oleh seseorang yang memiliki keterampilan yang diperlukan. Sedangkan unsafe abortion merupakan suatu prosedur untuk mengakhiri kehamilan yang dilakukan oleh orang yang tidak berketerampilan atau dilakukan di lingkungan yang tidak sesuai dengan standar medis minimal, atau keduanya. Hal ini dapat berakibat fatal hingga kematian pada sang ibu. Menurut Kuntari, dkk (2020) Abortus yang tidak aman bertanggung jawab terhadap 11% kematian ibu di Indonesia.

ABORSI TIDAK AMAN OLEH KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

Walaupun aborsi untuk kasus kedaruratan medis maupun korban kekerasan seksual dinyatakan legal, tetapi akses terhadap fasilitas aborsi aman masih sulit untuk didapatkan. Tercatat 103 kasus korban perkosaan berakibat kehamilan dalam jangka waktu 2018–2023 yang telah dilaporkan ke Komnas Perempuan.1 Hampir seluruh korban tersebut tidak mendapatkan akses terhadap aborsi aman. Selain itu, sulitnya akses terhadap layanan aborsi yang aman juga memperbesar beban yang dialami korban, baik secara fisik maupun psikologis. 

Tanpa adanya regulasi yang jelas mengenai praktik aborsi, korban kekerasan seksual akan terdorong untuk melakukan segala cara demi mengakhiri kehamilan mereka, bahkan jika harus menempuh prosedur yang berbahaya. Kriminalisasi pada tenaga kesehatan yang melakukan layanan aborsi aman dan stigma yang masih dialami korban perkosaan yang ingin mengakses haknya masih menghambat perkembangan penyediaan aborsi aman di Indonesia. Melansir dari artikel milik Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), diketahui kriminalisasi aborsi telah menyulut 108 vonis kriminal di seluruh Indonesia tahun 2019 sampai 2021. Kriminalisasi ini justru menghambat akses perempuan, utamanya korban perkosaan ke informasi tentang layanan aborsi yang aman, dan pada akhirnya memaksa mereka memilih metode aborsi yang tidak aman.

Salah satu kasus yang cukup tersorot di tahun 2018 dialami oleh remaja perempuan berusia 15 tahun di Jambi, yang merupakan korban perkosaan oleh kakaknya sendiri lalu hamil. Remaja tersebut dan ibunya dijatuhi hukuman pidana terkait dengan Perlindungan Anak.

PP No. 28 TAHUN 2024

Aturan mengenai aborsi telah disebut dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang  No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan). Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan tindakan aborsi, kecuali terdapat kondisi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang pidana. Pelayanan aborsi juga hanya boleh dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi Sumber Daya Kesehatan sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri. Selain fasilitas, Peraturan Pemerintah ini juga mengatur bahwa pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

KONTROVERSI

PP No. 28 Tahun 2024 dinilai berisi pasal-pasal yang kontroversial. Pandangan yang berbeda serta kritik mulai bermunculan terhadap pasal yang dimuat dalam peraturan tersebut, termasuk aturan mengenai aborsi korban perkosaan. PP ini mengacu pada UU No.1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa aborsi pidana penjara aborsi tidak berlaku pada perempuan yang merupakan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 (empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis (Pasal 463 Ayat 2). 


Meskipun begitu, beberapa lembaga advokasi hak-hak perempuan masih menemukan kelemahan dari undang-undang ini, seperti contohnya Yayasan Kesehatan Perempuan menilai bahwa PP ini justru dapat mempersulit akses korban kekerasan seksual untuk mendapatkan aborsi yang aman. Pada pasal 120 dinyatakan bahwa pelayanan aborsi diberikan oleh tim pertimbangan dan dokter yang berwenang. Akan tetapi, keberadaan tim pertimbangan ini justru berpotensi untuk memperlambat penanganan medis pada kasus kehamilan beresiko. Pasal ini juga tidak mempertimbangkan kondisi secara geografis dan ketersediaan fasilitas kesehatan yang belum merata di berbagai daerah.  Adapun surat keterangan penyidik dalam pasal 118 juga dianggap mampu menghambat akses korban kekerasan seksual dan korban perkosaan terhadap layanan aborsi. Pada kenyataannya, korban yang melaporkan kasusnya kepada pihak kepolisian masih terhitung sangat sedikit. Stigma aborsi di tengah masyarakat menjadi salah satu hal yang mendukung fenomena tersebut. Hal ini dapat dilihat dari salah satu kasus yang terjadi di Jombang, Jawa Timur, yaitu seorang anak korban perkosaan yang berusia 12 tahun telah meminta bantuan dari kantor polisi untuk mendapatkan layanan aborsi namun ditolak karena dianggap sebagai perbuatan dosa.

REKOMENDASI

Layanan aborsi aman menjadi kebutuhan yang mendesak bagi korban kekerasan seksual. Tujuan dari layanan ini adalah untuk mengurangi risiko gangguan kesehatan mental yang dialami korban akibat tekanan dari kehamilan yang tidak diinginkan.1 Selain itu, layanan ini juga berperan penting dalam mencegah dampak psikologis terhadap bayi yang dikandung dalam situasi penolakan serta mengurangi tekanan pada korban untuk membesarkan anak dari peristiwa kekerasan seksual.

Dengan disahkannya PP Nomor 28 Tahun 2024, korban kekerasan seksual diharapkan mampu mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan yang aman tanpa harus menghadapi risiko kesehatan dari aborsi ilegal atau beban psikologis tambahan. Selain itu, peraturan ini diharapkan akan memberikan perlindungan hukum dan dukungan yang lebih baik bagi perempuan yang menghadapi situasi medis darurat, sehingga dapat mengurangi angka kematian ibu dan komplikasi kesehatan terkait kehamilan yang tidak diinginkan. Adapun pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap implementasi Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024, dengan memastikan bahwa seluruh penegak hukum yang terlibat memiliki pemahaman yang mendalam dan kompetensi untuk menjalankan hukum ini secara efektif. Pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum sangat penting untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa hak-hak perempuan dilindungi dengan baik. Dengan demikian, regulasi ini dapat diimplementasikan secara optimal untuk melindungi perempuan dan memastikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.

Referensi:

  1. 2023-kerangka-hukum-tentang-aborsi-aman-di-indonesia … (n.d.). https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2023/03/2023-Kerangka-Hukum-tentang-Aborsi-Aman-di-Indonesia-2023-2.docx.pdf 
  2. Adinda, P. (2024, July 4). Abortion’s stigma in Indonesia keeps rape victims from safe health services. Beranda – Project Multatuli. https://projectmultatuli.org/en/abortions-stigma-in-indonesia-keeps-rape-victims-from-safe-health-services/ 
  3. Dian Dwi Jayanti, S. H. (n.d.). Aborsi Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum islam. Pusat Produk & Jasa Hukum Terpercaya di Indonesia. https://www.hukumonline.com/klinik/a/aborsi-dalam-perspektif-hukum-positif-dan-hukum-islam-lt5f0839117647b/ 
  4. Pernyataan Sikap. Komnas Perempuan | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (n.d.). https://komnasperempuan.go.id/pernyataan-sikap-detail/pernyataan-sikap-komnas-perempuan-terhadap-ketentuan-aborsi-bagi-korban-tindak-pidana-kekerasan-seksual-dalam-pp-no-28-tahun-2024-tentang-kesehatan 
  5. Kuntari, T., Wilopo, S. A., & Emilia, O. (2010). Determinan abortus di Indonesia. Kesmas, 4(5), 5.
  6. Nurhafni, N. (n.d.). Gambaran Pengetahuan remaja putri Tentang Aborsi. Jurnal Kebidanan. https://digilib.itskesicme.ac.id/ojs/index.php/jib/article/view/981 
  7. Penulis Samsara, Penulis, Samsarahttp://samsara.or.idSamsara fokus dan berkomitmen mendukung pemenuhan akses informasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi., Samsara, Samsara fokus dan berkomitmen mendukung pemenuhan akses informasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi., & here, P. enter your name. (2024a, August 12). Peraturan Pelaksana UU Kesehatan no.28 Tahun 2024 Masih Diskriminatif, Masyarakat Sipil Tuntut perbaikan. Samsara News. https://samsaranews.com/2024/08/12/siaran-pers-pp-kesehatan/ 
  8. Slavič, T.R. (2023). Sexual Effects of Trauma Experience on Pregnancy and Labour. In: Geuens, S., Polona Mivšek, A., Gianotten, W. (eds) Midwifery and Sexuality. Springer, Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-031-18432-1_24
  9. World Health Organization. (n.d.). Abortion. World Health Organization. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/abortion

SHARE

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email