Breastfeeding for Positive COVID-19 Mothers

Pada era pandemi COVID-19, mungkin ada teman atau keluarga yang bertanya-tanya, “Bolehkah ibu yang positif COVID-19 menyusui?”. Menyambut pekan menyusui sedunia pada tanggal 1-7 Agustus ini, yuk kita bahas lebih lanjut!

Check out the thread version on our Twitter:

Seperti yang kita ketahui, ASI merupakan sumber nutrisi utama bayi baru lahir. Umumnya, seorang Ibu direkomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif pada usia 6 bulan pertama dan dilanjutkan dengan pemberian MPASI (Makanan Pendamping ASI) pada usia berikutnya.

Menurut Kemenkes, pemberian ASI dapat meningkatkan ketahanan tubuh bayi serta membantu proses perkembangan otak dan fisik bayi. Berdasarkan data dari WHO, lebih dari 820 ribu nyawa anak dapat terselamatkan dengan pemberian ASI yang adekuat pada usia 0-23 bulan. ASI juga bermanfaat bagi ibu untuk mengurangi trauma pasca persalinan.

Ketika menyusui, ibu tentu akan bersentuhan dengan bayinya sehingga meningkatkan resiko transmisi droplet dari ibu ke bayi. Seperti yang kita ketahui, salah satu cara penularan COVID-19 adalah melalui droplet. Oleh karena itu, kegiatan menyusui dapat menimbulkan kekhawatiran bagi ibu dan keluarga, terutama ibu yang suspek atau terkonfirmasi COVID-19.

Kemudian mungkin muncul pertanyaan, “Apakah sebaiknya saya tidak menyusui? Apakah saya boleh mengganti ASI dengan susu formula?”. Sebagai seorang ibu, tentu ingin memberikan yang terbaik untuk sang buah hati, bukan?

Jangan risau, ternyata sudah ada panduan menyusui loh, untuk ibu yang positive COVID-19. Ada beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan oleh ibu suspek atau terkonfirmasi COVID-19 sebelum menyusui bayinya. 

Apabila ibu sudah diperbolehkan untuk menyusui langsung oleh dokter atau bidan, maka terapkan langkah-langkah berikut.

  1. Mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir atau hand sanitizer yang mengandung alkohol 70% sebelum menyentuh bayi.
  2. Gunakan masker medis yang dilapisi masker kain, atau gunakan masker KF94/KN95 ketika menyusui dan ganti masker ketika sudah selesai menyusui.
  3. Terapkan etika batuk dan bersin yang baik dan benar.
  4. Jagalah kebersihan dan sanitasi diri maupun lingkungan.

Dalam kondisi di mana ibu tidak mampu menyusui langsung, maka pemberian ASI dapat dilakukan dengan dipompa dan disimpan dalam wadah ASI. Memompa ASI penting dilakukan untuk menstimulasi produksi ASI agar ibu dapat menyusui langsung ketika sembuh. 

Pastikan bahwa ibu mencuci tangan sebelum memompa maupun menyentuh wadah ASI dengan sabun dan air mengalir. Wadah ASI pun harus dibersihkan dengan sabun dan air hangat setiap selesai digunakan.

Rekomendasi menyusui secara langsung perlu dipertimbangkan, tidak hanya berdasarkan potensi transmisi COVID-19, tetapi juga berdasarkan risiko morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan tidak diberikannya ASI, serta pemberian susu formula yang tidak sesuai kebutuhan. Yuk, pilihlah dengan bijak untuk tumbuh kembang buah hati yang optimal!

Referensi:

Dewi, R. 2020. Pencegahan dan Pengendalian Pelayanan Neonatus di Masa Pandemi COVID-19. Available at: https://www.ibi.or.id/media/Webinar%20IDM%202020/IDAI%20-%20covid-IBI.pdf

Kementerian Kesehatan Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. 2018. Manfaat ASI Eksklusif untuk Ibu dan Bayi. [online]. Available at: https://promkes.kemkes.go.id/manfaat-asi-eksklusif-untuk-ibu-dan-bayi

World Health Organization. 2020. Breastfeeding and COVID-19. [online]. Available at: https://www.who.int/news-room/commentaries/detail/breastfeeding-and-covid-19

World Health Organization. 2020. Breastfeeding and COVID-19 for health care workers. Available at: https://www.who.int/docs/default-source/reproductive-health/maternal-health/faqs-breastfeeding-and-covid-19.pdf?sfvrsn=d839e6c0_5

Penulis:

Hanifah Nabilah – Peer Educator Trainer (PETRA) 2019

Nisrina Nabila Raniasari – Peer Educator Trainer (PETRA) 2019

Di Indonesia, kanker serviks menjadi penyakit kanker pada wanita dengan jumlah penderita terbesar setelah kanker payudara. Pada tahun 2018, diperkirakan 570.000 wanita didiagnosis menderita kanker serviks di seluruh dunia dan sekitar 311.000 wanita meninggal karena penyakit tersebut. Berdasarkan data Kemkes tahun 2019, di Indonesia kanker serviks didapatkan pada 23,4 per 100.000 penduduk, dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk. Kanker serviks adalah kanker yang ditemukan di mulut rahim, yaitu bagian antara vagina dan rahim. Hampir semua kasus kanker serviks (99%) terkait dengan infeksi human papillomavirus (HPV) risiko tinggi, virus yang sangat umum ditularkan melalui kontak seksual. Saat terpapar HPV, sistem kekebalan tubuh biasanya mencegah virus melakukan kerusakan. Namun, pada sebagian kecil orang, virus bertahan selama bertahun-tahun, berkontribusi pada proses yang menyebabkan beberapa sel serviks menjadi sel kanker.  

Penyakit ini bisa dicegah dengan melakukan tes skrining yaitu dengan pemeriksaan serviks, yang bertujuan untuk menemukan dan mengobati perubahan pada sel sebelum berubah menjadi kanker. Kanker serviks biasanya tumbuh sangat lambat, sehingga bila dilakukan skrining yang teratur penyakit ini bisa dicegah. Diawali dengan perubahan serviks normal menjadi lesi prakanker, Lesi prakanker pada serviks adalah perubahan pada sel serviks yang membuatnya lebih mungkin berkembang menjadi kanker.

 Pendekatan pencegahan primer (dengan vaksinasi HPV) dan pencegahan sekunder yang efektif (penyaringan/tes skrining dan pengobatan lesi prakanker) adalah bagian dari upada pencegahan kanker serviks. Di Indonesia, prevalensi dan determinan dari lesi prakanker serviks di kalangan wanita membantu untuk mengambil tindakan seperti program vaksinasi pada anak usia 12-13 tahun, meningkatkan cakupan skrining bagi semua wanita antara usia 25 dan 65 tahun, dan manajemen yang ketat dan tindak lanjut yang dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh kanker serviksIni membantu melindungi terhadap semua kanker yang disebabkan oleh HPV, serta kutil kelamin. Skrining serviks secara teratur adalah perlindungan terbaik terhadap kanker serviks. Wanita berusia 25-65 tahun dan memiliki serviks serta pernah aktif secara seksual memerlukan tes skrining serviks. Skrining kanker serviks dengan tes HPV saja atau tes HPV sekaligus Pap smear dapat dilakukan setiap 5 tahun sekali, atau tes Pap smear (sitologi) setiap 3 tahun sekali. Pada usia di atas 65 tahun dengan hasil skrining sebelumnya normal tidak perlu lagi melakukan tes skrining.

Referensi:

– The American College of Obstetrician ang Gynecologist Update Cervical Cancer Screening Guideline 2021
– WHO Guideline for screening and treatment of cervical pre cancer lesions for cervical cancer prevention 2021

Artikel dibuat oleh: dr. Hartatiek Nila Karmila, Sp.OG

SHARE

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email

READ ALSO