HIV dan ARV

DItulis oleh: Prilli Simatupang (CIMSA YARSI), Andi Annisa Rusyda Khafiyani (CIMSA Unpad)

HIV (Human Immunodeficiency Virus) masuk ke dalam kelompok lentivirus (subgroup dari retrovirus). HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel CD4 (sel T) yang membantu sistem kekebalan tubuh melawan infeksi. Dampak nya adalah penurunan jumlah sel CD4 (sel T) di dalam tubuh, yang mana menyebabkan penderitanya rentan terkena infeksi oportunistik atau kanker terkait infeksi. Semakin tinggi derajat keparahannya, HIV menyebabkan sistem imun tidak lagi mampu melawan infeksi terkait dan menimbulkan AIDS.

Hingga kini, belum ada pengobatan yang menyembuhkan HIV secara permanen. Yang dapat dilakukan adalah tindakan preventif dan pengendalian infeksi yang disebabkan oleh HIV. Ada dua metode terapi yang lazim digunakan, yaitu ARV (Antiretroviral) dan kombinasi dari berbagai macam ARV yang biasa disebut ART (Antiretrotherapy). HIV yang tidak ditangani dengan baik turut meningkatkan angka mortalitas. Dan penggunaan ART/ARV dipercaya sebagai faktor besar dalam menurunkan angkamortalitas dan turut serta memperbaiki kualitas hidup ODHA (Orang dengan HIV&AIDS).

ARV merupakan metode pengobatan utama dalam HIV. ARV berkerja dalam tingkat siklus replikasi virus itu sendiri. Obat-obatan dalam ARV ini juga dibagi menjadi berbagai tipe berdasarkan tingkatan molekuler kerjanya. HIV sendiri sering dikorelasikan dengan berbagai infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang menyerang dikarenakan faktor diri yang lemah. Pengobatan HIV dipusatkan pada IO yang mengenai penderitanya.

Kini ARV tidak hanya digunakan sebagai pengobatan bagi penderita HIV namun juga sebagai pencegah penularan HIV. Jurnal Science menerbitkan sebuah penemuan besar pada 2011, sebuah penelitian yang diberi nama HPTN 052 menunjukkanbahwa 96% penularan tidak terjadi apabila pasangan yang terkena HIV memakai ARV. Hal ini tentu saja menjadi kabar baik karena ARV diharapkan dapat menjadi garda pencegah bukan hanya mengobati. Hingga kini, ilmuwan masih meneliti HIV dengan harapan akan menemukan pengobatan yang dapat memutus rantai penularan dan semoga, menghilangkan HIV secara permanen.

Sebagai upaya dalam pengendalian HIV/AIDS, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan buku pedoman berjudul “Pedoman Nasional Pengobatan Antiretrovital (2011)”. Hal ini turut didukung dengan pusat pelayanan kesehatan yang terus berupaya dalam penanganan HIV dengan tujuan menurunkan angka mortalitas pada penderita HIV dan mendukung berbagai upaya pemerintah dalam menjamin kesehatan dan kualitas hidup masyarakat luas. DIharapkan dari upaya tersebut, Indonesia dapat terus mengendalikan HIV/AIDS serta meningkatkan ksehatan rakyatnya secara menyeluruh.

SUMBER :
• www.hiv.gov
• www.avert.org
• https://en.wikipedia.org/wiki/HIV
• https://www.cdc.gov
• www.myvmc.com/treatments/antiretroviral-therapy-anti-hiv-drugs/#c3

Di Indonesia, kanker serviks menjadi penyakit kanker pada wanita dengan jumlah penderita terbesar setelah kanker payudara. Pada tahun 2018, diperkirakan 570.000 wanita didiagnosis menderita kanker serviks di seluruh dunia dan sekitar 311.000 wanita meninggal karena penyakit tersebut. Berdasarkan data Kemkes tahun 2019, di Indonesia kanker serviks didapatkan pada 23,4 per 100.000 penduduk, dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk. Kanker serviks adalah kanker yang ditemukan di mulut rahim, yaitu bagian antara vagina dan rahim. Hampir semua kasus kanker serviks (99%) terkait dengan infeksi human papillomavirus (HPV) risiko tinggi, virus yang sangat umum ditularkan melalui kontak seksual. Saat terpapar HPV, sistem kekebalan tubuh biasanya mencegah virus melakukan kerusakan. Namun, pada sebagian kecil orang, virus bertahan selama bertahun-tahun, berkontribusi pada proses yang menyebabkan beberapa sel serviks menjadi sel kanker.  

Penyakit ini bisa dicegah dengan melakukan tes skrining yaitu dengan pemeriksaan serviks, yang bertujuan untuk menemukan dan mengobati perubahan pada sel sebelum berubah menjadi kanker. Kanker serviks biasanya tumbuh sangat lambat, sehingga bila dilakukan skrining yang teratur penyakit ini bisa dicegah. Diawali dengan perubahan serviks normal menjadi lesi prakanker, Lesi prakanker pada serviks adalah perubahan pada sel serviks yang membuatnya lebih mungkin berkembang menjadi kanker.

 Pendekatan pencegahan primer (dengan vaksinasi HPV) dan pencegahan sekunder yang efektif (penyaringan/tes skrining dan pengobatan lesi prakanker) adalah bagian dari upada pencegahan kanker serviks. Di Indonesia, prevalensi dan determinan dari lesi prakanker serviks di kalangan wanita membantu untuk mengambil tindakan seperti program vaksinasi pada anak usia 12-13 tahun, meningkatkan cakupan skrining bagi semua wanita antara usia 25 dan 65 tahun, dan manajemen yang ketat dan tindak lanjut yang dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh kanker serviksIni membantu melindungi terhadap semua kanker yang disebabkan oleh HPV, serta kutil kelamin. Skrining serviks secara teratur adalah perlindungan terbaik terhadap kanker serviks. Wanita berusia 25-65 tahun dan memiliki serviks serta pernah aktif secara seksual memerlukan tes skrining serviks. Skrining kanker serviks dengan tes HPV saja atau tes HPV sekaligus Pap smear dapat dilakukan setiap 5 tahun sekali, atau tes Pap smear (sitologi) setiap 3 tahun sekali. Pada usia di atas 65 tahun dengan hasil skrining sebelumnya normal tidak perlu lagi melakukan tes skrining.

Referensi:

– The American College of Obstetrician ang Gynecologist Update Cervical Cancer Screening Guideline 2021
– WHO Guideline for screening and treatment of cervical pre cancer lesions for cervical cancer prevention 2021

Artikel dibuat oleh: dr. Hartatiek Nila Karmila, Sp.OG

SHARE

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on email

READ ALSO